Me : “Buk, aku apply S2 lagi.” (Akhirnya memutuskan bicara setelah berminggu-minggu menggalau tak jelas)
Ibu : “Wah, alhamdulillaah. Apapun yang kamu pingin yang penting baik untukmu”
Me : “Tapi di ITB. Bandung.” (Memasang wajah sedatar mungkin, menatap ke arah lain)
Ibu : “Bandung? (Suaranya terdengar lirih) Kamu bilang pingin di Surabaya aja?”
Me : (mbatin: “Itu keinginan ibu, bukan inginku”) “Beasiswanya adanya di Bandung Bu” (berkelit, berbohong)
Ibu : “Di ITS gak ada beasiswa S2 ta? Tempo hari kayaknya kamu bilang ada. Temen-temenmu ada tho yang S2 di ITS berbeasiswa?”
Me : “Iya, tapi yang kali ini beasiswa dosen. Kalo yang di ITS beasiswa S2 aja, tanpa uang saku dll. Kalo ini pake uang saku” (persis seperti alasan yang aku sampaikan ketika bapak bertanya kenapa aku tak mengambil kesempatan S2 di ITS beberapa hari lalu)
Ibu : (Diam)
Me : ………….
Ibu : “Oo…yaudah kalo gitu, semoga Alloh kasih yang terbaik saja. Apapun hasilnya nanti, semoga itu yang baik menurut Alloh” (ada nada tak beres dari suaranya)
Me : “Aamiin”
Dialog ini hanya terjadi dalam benak saya saja, belum pernah terjadi di dunia nyata, meski sepenuhnya terinspirasi dari pengalaman-pengalaman yang beberapa bulan belakangan ini.