Betapa istiqamah mengatur pola makan balita itu lbh susah drpd ngatur jadwal nyicil garap skripsi.
Belum lagi kalo nafsu makan si balita tidak sebaik balita2 lain.
Yg diperkeruh dengan berat badan yg susah sekali naik.
Butuh kerjasama yg baik antara ibu dan ayah si balita.
Kerjasama.
Peran sang ibu memang lbh dominan, mulai dr mengatur menu makan, mengatur pola makan, mengatur jam makan, mengatur jam tidur, dan segala printilan lainnya.
Namun segala aturan yg telah disusun sedemikian rupa oleh si ibu tidak akan berarti apa2 jika kemudian diinterfensi, diganti, bahkan dikacaukan oleh pihak yg seharusnya bekerjasama dengan sang ibu.
“Bicarakanlah denganku mengenai jadwalnya in syaa Allah aku paham dan kita akan bekerjasama”
Begitu kurang lebih yg sering dikatakan saat sang ibu mencurahkan kegalauannya mengenai si balita yg susah sekali makan.
Ah, entah sudah berapa ratus kali pembicaraan itu diutarakan sesuai permintaan, namun selalu terulang lagi dan lagi.
Seorang ibu yg memiliki bayi dan balita tidak bisa sembarang waktu pergi meninggalkan rumah.
Banyak hal yg harus diperhitungkan sebelum seorang ibu memutuskan pergi keluar rumah, jangankan utk urusan yg tidak seberapa penting, untuk urusan yg paling daruratpun perhitungan nya bisa seabrek.
Perhitungan yg paling utama ya apalagi kalo bukan mengenai isi perut si bayi/balita.
Ini naluriah sayang.
Apalagi jika si balita memiliki kebiasaan yg ‘unik’, sang ibu hrs lbh ekstra lagi memikirkan dan memperhitungkannya.
Jika semuanya harus ditanggung sendiri rasanya tak sanggup, sedang pihak yg diharapkan bisa bekerjasama seringkali abai lupa(?).
Ah, mungkin sang ibu kurang lihai membaca situasi dan kondisi pasangan.
Ah, mungkin sang ibu kurang terampil berkomunikasi hingga apapun yg dikatakannya dpt menancap abadi di hati pihak lain.
Ah, mungkin…mungkin…entahlah.
Wanita bisa juga salah koq, tak selamanya wanita menjadi makhluk paling benar.
Magetan, Jelang Senja
Ummu Husna.